Senin, 16 Juni 2014

Makalah Gadai

BAB I
PENDAHULUAN

            A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat perlu dana maupun modal. Misalnya untuk membuka suatu lapangan usaha tidak hanya dibutuhkan bakat dan kemauan keras untuk berusaha, tetapi juga diperlukan adanya modal dalam bentuk uang tunai. Hal itulah yang menjadi potensi perlu adanya lembaga perkreditan yang menyediakan dana pinjaman. Untuk mendapatkan modal usaha melalui kridit masyarakat membutuhkan adanya sarana dan prasarana. Maka pemerintah memberikan sarana berupa lembaga perbankkan dan lembaga non perbankkan.[1]
Salah satu lembaga non perbankan yang menyediakan kredit adalah Pegadaian. Pegadaian merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.[2]
Lembaga pegadaian menawarkan peminjaman dengan sistem gadai. Jadi masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barangnya. Lembaga pegadaian memiliki kemudahan antara lain prosedur dan syarat-syarat administrasi yang mudah dan sederhana, dimana nasabah cukup memberikan keterangan-keterangan singkat tentang identitasnya dan tujuan penggunaan kredit, waktu yang relatif singkat dana pinjaman sudah cair dan bunga relatif rendah. Hal ini sesuai dengan motto dari pegadaian itu sendiri, yaitu : ”Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”.
B.     Pokok Permasalahan
           Berdasarkan latar belakang dari pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan beberapa                          permasalahan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan makalah ini. Adapun perumusan                           permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian gadai dan apa yang menjadi objek dan subjek gadai?
2.      Apa saja yang menjadi  hak-hak dan kewajiban pemegang gadai dan bagaimana hapusnya gadai tersebut?
3.      Bagaimana perbandingan Antara gadai syariah dengan gadai nkonvensional?

C.    Tujuan Penenlitian
      Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan pengetahuan dan                            memperoleh pemahaman secara mendalam tentang tindak pidana korupsi. Lebih khusus tujuan                      penelitian ini adalah :
1.      Untuk lebih memahami apa itu gadai dan apa yang menjadi objek serta subjek dalam gadai tersebut
2.      Untuk memberikan penjelasan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam gadai serta bagaimana hapusnya gadai
3.      Untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan antara gadai syariah dan gadai konvensional

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, subyek dan obyek gadai
1.      Pengertian gadai
Definisi dari Gadai berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd):
Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu   barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biayabiaya mana harus didahulukan.” 

Dari definisi gadai tersebut, unsur-unsur gadai (secara umum) berdasarkan pasal tersebut di atas adalah sebagai berikut:[3]
a.                   Gadai  diberikan hanya atas barang bergerak
b.                  Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai
c.                   Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference)
d.                  Gadai memberi kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahului tersebut. 
Dari definisi dan unsur-unsur di atas, gadai merupakan hak kebendaan dan timbul dari suatu perjanjian gadai. Perjanjian gadai inipun tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok ini biasanya adalah berupa perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur. 
2.      Obyek gadai
Dilihat dari definisi gadai sendiri, yang menjadi objek dari hak gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak yang dimaksudkan meliputi benda bergerak yang berwujud (lichamelijke zaken) dan benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan pembayaran uang yang berwujud surat-surat berharga.[4]
3.      Subyek gadai
a.       Dari segi individu (person), yang menjadi subyek gadai adalah setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1329 KUHPerdata.
b.      Para pihak yang menjadi subyek gadai adalah :
1.      Pemberi gadai atau Debitur
2.      Penerima gadai atau Kreditur
3.      Pihak ketiga yaitu orang yang disetujui oleh pemberi gadai dan penerima gadai untunk memegang benda gadai sehingga disebut Pemegang Gadai.[5]

B.     Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai serta Hapusnya Gadai
1.      Hak pemegang gadai
Hak-hak pemegang gadai adalah:[6]
a.       Hak untuk menahan benda yang digadaikan selama sebelum dilunasi hutang pokoknya, bunganya dan biaya-biaya lainnya oleh debitur.
b.      Hak untuk mendapatkan pembayaran piutangnya dari pendapatan penjualan benda yang digadaikan, apabila debitur tidak menepati kewajibannya. Penjualan benda yang digadaikan dapat dilakukan sendiri oleh pemegang gadai dan dapat pula dengan perantaraan hakim.
c.       Hak minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkannya untuk memelihara benda yang digadaikan itu.
d.      Pemegang gadai mempunyai hak untuk menggadaikan lagi benda yang dijadikan jaminan, bila mana hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti menggadaikan surat-surat sero tau obligasi.
e.       Dalam melaksanakan hak gadai secara menjual benda yang dijaminkan, pemegang gadai berhak untuk didahulukan menerima pembayaran piutangnya sebelum piutang-piutang lainnya, kecuali biaya-biaya lelang, biaya-biaya pemeliharaan agar barang itu tidak rusak-musnah.
2.      Kewajiban Pemegang Gadai
Kewajiban-kewajiban pemegang gadai adalah:[7]
a.       Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya harga barang yang digadaikan jika hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b.      Pemegang gadai harus memberitahukan kepada pemberi gadai bilamana ia hendak menjual barang yang digadaikan kepadanya.
c.       Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan benda yang digadaikan dan setelah mengambil pelunasan piutangnya ia harus menyerahkan kelebihannya kepada pemberi gadai.
d.      Pemegang gadai harus mengembalikan benda yang digadaikan bila mana hutang pokok, bunga dan biaya untuk memelihara benda yang digadaikan telah lunas dibayar oleh debitur.
3.      Hapusnya gadai
Yang menjadi sebab hapusnya gadai:[8]
a.       Karena hapusnya perjanjian peminjaman uang.
b.      Karena perintah pengembalian benda yang digadaikan lantaran penyalahgunaan dari pemegang gadai.
c.       Karena benda yang digadaikan dikembalikan dengan kemauan sendiri oleh pemegang gadai kepada pemberi gadai.
d.      Karena pemegang gadai lantaran sesuatu sebab menjadi pemilik benda yang digadaikan.
e.       Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.
f.       Karena lenyapnya benda yang digadaikan.
g.      Karena hilangnya benda yang digadaikan.

C.    Perbandingan Antara Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional
Secara prinsip gadai konvensional berbeda dengan gadai syariah, berikut adalah perbedaannya[9] :
Indikator
Gadai syariah
Gadai konvensional
Konsep Dasar
Tolong Menolong (Jasa Pemeliharaan Barang Jaminan)

Profit Oriented (Bunga dari Pinjaman Pokok / Biaya Sewa Modal)
Beban
Biaya pemeliharaan
Bunga (dari pokok pinjaman)
Lembaga
Bisa dilakukan perorangan
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum Pegadaian)
Perlakuan
Dijual (kelebihan dikembalikan kepada pemilik barang)
Dilelang

Dari tabel di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang dijadikan jaminan.
Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan kepada pihak pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat dari nilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga ditarik dari besar kecilnya dana yang dipinjam.
Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHPerdata pasal 1150.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimbulan bahwa definisi dari Gadai berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) sederhananya adalah suatu kegiatan pinjam meminjam dengan menggunakan barang bergerak sebagai jaminannya, yang secara umum memenuhi unsur, pertama Gadai  diberikan hanya atas barang bergerak, kedua Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai, ketiga Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference), keempat Gadai memberi kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahului tersebut.
Serta yang menjadi objek dari hak gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak yang dimaksudkan meliputi benda bergerak yang berwujud (lichamelijke zaken) dan benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan pembayaran uang yang berwujud surat-surat berharga. Dan juga yang menjadi subyek gadai adalah setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1329 KUHPerdata.
Demikian pula dapat kita ketahui bahwa secara prinsip gadai syariah berbeda dengan gadai konvensional, perbedaan tersebut dapat kita lihat diantaranya, pertama, secara konsep dasar gadai syariah prinsipnya adalah tolong menolong sedangkan gadai konvensional mencari keuntungan dengan bunga. Kedua, beban gadai syariah dikenakan atas pemeliharaan barang sedangkan gadai konvensional beban terdapat pada bunga. Ketiga, mengenai lembaga, gadai syariah dapat dilakukan perorangan ataupun lembaga sedangkan gadai konvensional hanya bisa dilakukan oleh lembaga dalam hal ini perum pegadaian. Keempat, gadai syariah dalam perlakuan barang jaminan menggunakan system penjualan sedangkan gadai konvensional dengan lelang.

B.     Kritik dan Saran
Segala puji bagi Allah karena pada akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila pada makalah ini ada kata-kata yang tidak berkenan dan banyak kekurangan. Agar makalah kami lebih baik lagi nantinya, kami harap para pembaca berkenan memberi kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman dan wawasan pendidikan serta bermanfaat bagi para pembaca. 


Daftar Pustaka
-          junaidioke.files.wordpress.com/2011/10/makallah-gadai.pdf makalah gadai. Diakses pada hari sabtu 5 April 2014
-          Yoga ferdian, http://simbolhukum.blogspot.com/2012/06/hukum-perdata-gadai.html. . Diakses pada hari minggu 6 April 2014
-          Nica Febrina, http://nicafebrina.blogspot.com/2010/01/pengertian-tentang-gadai-hipotik.html. Diakses pada hari sabtu 5 April 2014
-          http://acienharahap.blogspot.com/2009/06/hukum-gadai.html. . Diakses pada hari sabtu 5 April 2014
-          Handayani Eka Budhianita, http://www.academia.edu/3563362/GADAI.  Diakses pada hari minggu 6 April 2014
-          Fadhi Rafha, http://id.scribd.com/doc/179351836/makallah-gadai.  Diakses pada hari minggu 6 April 2014
-          http://artikelekis.blogspot.com/2013/12/perbandingan-gadai-konvensional-dengan.html.  Diakses pada hari sabtu 5 April 2014




[1]junaidioke.files.wordpress.com/2011/10/makallah-gadai.pdf makalah gadai. Diakses pada hari sabtu 5 April 2014 pukul 19.11

[2]Ibid.
[3] Yoga ferdian, http://simbolhukum.blogspot.com/2012/06/hukum-perdata-gadai.html. . Diakses pada hari minggu 6 April 2014 pukul 23.58

[4]Nica Febrina, http://nicafebrina.blogspot.com/2010/01/pengertian-tentang-gadai-hipotik.html. Diakses pada hari sabtu 5 April 2014 pukul 20.41

[5] http://acienharahap.blogspot.com/2009/06/hukum-gadai.html. . Diakses pada hari sabtu 5 April 2014 pukul 21.04

[6]Handayani Eka Budhianita, http://www.academia.edu/3563362/GADAI.  Diakses pada hari minggu 6 April 2014 pukul 23.07

[7] Ibid.
[8]Fadhi Rafha, http://id.scribd.com/doc/179351836/makallah-gadai.  Diakses pada hari minggu 6 April 2014 pukul 23.29


[9] http://artikelekis.blogspot.com/2013/12/perbandingan-gadai-konvensional-dengan.html.  Diakses pada hari sabtu 5 April 2014 pukul 21.45

Penggunaan Istilah hukum Administrasi di Indonesia

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Kurikulum Fakultas Hukum 1983 yang lazimnya dikenal dengan nama kurikulum inti, menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara. Penggunaan istlah Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disingkat HAN) sedikit banyak dipengaruhi oleh keputusan/kesepakatan pengasuh mata kuliah tersebut pada pertemuan di Cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelum itu, dalam kurikulum minimal tahun 1972, istilah yang digunakan dalam SK Meneteri P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 adalah Hukum Tata Pemerintahan. Meskipun istilah Hukum Tata Pemerintahan tercantum dalam SK tersebut diatas, namun dalam kenyataan penggunaan istilah itu oleh beberapa fakultas hukum – terutama fakultas hukum universitas negeri (yang kemudian diikuti juga oleh berbagai fakultas hukum universitas swasta) tidak seragam. Istilah-istilah yang beraneka ragam itu adalah: Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Administrasi Negara[1].
Dengan tidak seragamnya penggunaan istilah itulah maka para pengasuh mata kuliah tersebut sepakat menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara dengan alasan bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan istilah yang luas pengertiannya, sehingga membuka kemungkinan kearah pengembangan dari pada Cabang Ilmu Hukum ini yang lebih sesuai dengan perkembangan, pembangunan dan kemajuan Negara Republik Indonesia dimasa-masa yang akan dating.
Sedangkan istilah Hukum Administrasi Negara menurut pandangan para sarjana juga banyak dijumpai diberbagai literature. WF. Prins, misalnya, menulis buku berjudul “Inleiding in het Administratief Recht van Indonesia” yang diterjemahkan dengan “Pengantar Hukum Administrasi Negara”[2].
Rochmat Soemitro dalam Simposium Peradilan Tata Usaha Negara yang diselenggarakan oleh BPHN pada bulan februari 1976 menggunakan istilah “Administrasi” melalui makalahnya tentang “Naskah singkat tentang Peradilan Administrasi di Indonesia”, S. prayudi Atmosudirdjo, menggunakan istilah Administrasi Negara pada Simposium yang sama dengan makalah “Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara”. Dapat juga dikemukakan beberpa sarjana lain yang menggunakan istilah Administrasi Negara seperti Sarono, Sunaryati Hartono dan E. Utrecht[3].



[1] Koord. Penulis Prof. Dr. Philipus M. Hadjono, SH. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,Surabaya: Gajag Mada University Press, 1994. Hal. 1
[2] SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberti Yogyakarta, 1987. Hal. 3
[3] Ibid. 

Transaksi Berjamin

TRANSAKSI BERJAMIN

A.    Makna Jaminan dan Hukum Jaminan
Rumusan atau definisi yang tegas tentang jamina dalam Kitab Undang-Undang tidak ditemukan. Namun istilah hukum jaminan ternyata mempunyai makna yang lebih luas dan umum serta bersifat mengatur dibandingkan dengan hak jaminan seperti halnya hukum kebendaan yang mempunyai ruang lingkupyang lebih luas dan mempunyai sifat mengatur dari pada hak kebendaan. 
Petunjuk yang dapat dipakai untuk menentukan rumusan jaminan adalah dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa tanpa diperjanjikanpun seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan atas pelunasan hutangnya.
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidsstelling atau security of law. Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga hipotek dan jaminan lainnya, diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 20-30 juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian.

B.     Sifat perjanjian jaminan
Perjanjian jaminan mempunyai sifat accessoir atau bisa dikatakan perjanjian accessoir yang artinya yaitu perjanjian tambahan atau perjanjian turunan atau ikutan dari perjanjian pokoknya. Perjanjian pokoknya adalah pinjam meminjam atau hutang piutang yang diikuti perjanjian tambahan sebagai jaminan. Perjanjian tambahan tersebut dimaksudkan agar keamanan kreditur lebih terjamin dan bentuknya dapat berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.
C.     Jenis jaminan

Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan umum dan jaminan khusus. Pasal 1131 KUHPerdatamencerminkan suatu jaminan umum. Sedangkan pasal 1132 KUHPerdata disamping sebagai kelanjutan dan penyempurnaan pasal sebelumnya yang menegaskan persamaan kedudukan para kreditur dan alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dan hal ini dapat terjadi karena ketentuan undang-undang maupun karena diperjanjikan.